Cinta dan Sekolah Kehidupan

 


Menikah, jenjang yang harus dipijak dua insan yang sejak awal mengambil komitmen untuk menjalani hidup bersama. Sebagai sunnah dan takdir manusia yang musti dilalui seorang lelaki dan seorang perempuan yang telah meneguhkan hatinya untuk berdua. Saling ingin membahagiakan dalam ikatan baik yang Allah ridhoi.

Akhir-akhir ini kepalaku memikirkan tentang hal demikian. Hubungan komitmen yang sudah terjalin berbulan-bulan ini, bukan sehari dua hari, kenal pun sudah menahun. Meski pernah melalui waktu bersama yang lain sebagai pembelajaran hidup dan penguatan hati. 

Pergi, bercengkrama dengan alam, naik gunung memang itu pelarianku dari penat dan sibuknya akan urusan dunia. Dipertemukan dan kesempatan yang ia ambil saat itu rasanya sangat tepat. Tepat waktu dan tepat rasa. Kadang rasanya seperti hanya kebetulan, tapi memang seperti sudah sesuai timingnya. 

Lelaki ini banyak mengajakku berpikir. Berpikir tentang hal simpel sampai rumit hingga kadang kami berdua pun belum bisa menemukan jawabnya. Lelaki ini mengajakku berproses, merencanakan dan merancang apa yang menurutku masih terlalu jauh untuk dipikirkan. 

Waktu awal aku akan memilih dan mengatakan Ya, banyak bisikan yang membuatku harus berulang kali berpikir. "Jangan jadiin orang lain pelampiasan" "Bakalan nyambung ga? dia kan engga sarjana kaya kamu!" "Gimana sholatnya?" "Dia lebih muda dari kamu atau seumuran bisa jadi saling bertengkar ego" "Emang bakalan jadi lu sama dia?" "Serius ga dia ngomong seriusnya?" "Mungkin emang kamunya yang ga baik, kalo kamu ga bisa nemuin yang lebih baik" Dan masih banyak lagi omongan manusia lainnya. 

Tapi aku ingat apa kata seorang temanku "Neng Amah, lebih baik hidup sama orang yang mencintai kita. Orang yang menerima kita, keluarganya menerima kita. Sarjana itu bukan jaminan, yang penting pemikirannya, ibadahnya, imannya" Bismillah kata itu yang membuat aku sedikit lega, diiringi dengan perasaan yang memang sudah terlanjur jatuh cinta. 

Semalam, ia bicara pada ibuku. Mengutarakan bahwa yang sedang kami jalani bukan main-main, ia meminta doa, restu dan waktu. Semoga niat dan itikad baik ini dipermudah, walaupun tidak bim salabim sebulan dua bulan. 

Ibuku mengizinkan, memberi doa, berharap yang terbaik untuk kami. Aku rasanya canggung dan bahagia mendengar lelaki itu dan ibuku membicarakan masa depanku. Ya, dia tidak hanya mengambil komitmen denganku, tapi juga komitmen dengan ibuku tentang kami berdua. Bismillah, semua dengan bismillah. 

Mungkin bagi sebagian orang ini cara yang salah. Tapi bagiku semua orang punya dan diberi jalannya masing-masing untuk bertemu takdir. Ada yang lewat jalan taaruf kenal sehari langsung jadi, ada yang harus bertahun-tahun menunggu, ada yang langsung siap menikah karena dibiayai orang tua, ada yang memang sudah siap biaya sendiri, ada yang harus gotong royong menabung berdua terlebih dahulu. 

Akhirnya niat ini menjadi pelajaran berharga untukku. Sejak awal tahun ini kami menabung bersama. Sudah pasti dia yang lebih bertanggung jawab atas biaya yang harus dikumpulkan. Tapi dari sini aku sedikit memahami arti perjuangan untuk cinta. Kesabaran. Pengorbanan. Saling belajar dan mengerti satu sama lain. 

Tidak mudah untuk menunggu, tapi ini jauh lebih baik dari pada bertahan pada hal yang tidak pasti. Tidak mudah memberi pengertian pada orang tua bahwa yang kami jalani ini adalah sekolah dasar mengerti hidup. Bahwa yang ditunggu memang pantas untuk ditunggu. Yang pada akhirnya menyerah pada kata, silahkan kalo sudah sama-sama suka. Lebih dari sama-sama suka, aku merasa kami sefrekuensi. Nyaman sekali bukan? Layaknya sahabat sejati. 

Benar, lelaki ini menjadi sahabatku di sekolah dasar mengerti hidup. Bukan hanya mapel bucin yang jadi favorit kami. Tapi seni berencana dan berserah pada Yang Memiliki Rencana juga menjadi mata pelajaran paling berharga. Karena tugas manusia adalah ikhtiar. Sisanya Bismillah Tawakkaltu 'alallah. 

Hai lelaki kuat yang kusebut seperti Iron Man, Mari kita tumbuh dan menua bersama. Mari kita bertualang dirimba kehidupan ini. Mari kita terus jejaki anak tangga ini. 




Meeting you was fate, becoming your friend was choice, but falling in love with you was completely out of my control

Komentar

Postingan Populer