Cerpen terakhir Rosmarika oleh Rahmah Khamoon
Tahukah kau?
Mengapa kembang-kembang jambu ini berjatuhan seperti hujan?
Berjatuhan saat kembang satu dan kembang lainnya saling bertatap
Namun kembang satu malu dan ragu, lalu ia memilih jatuh
Mereka saling menyusul berjatuhan
Tanpa tahu apa sebabnya jatuh jadi tak lagi sakit rasanya
Justru membuatnya bahagia dan ada
Perasaan-perasaan menggebu yang sama sekali sulit dimaknai
Kembang-kembang itu telah jatuh hati
Selesai
tertulis kata terakhir dalam puisi itu, hati. Rosmarika memejamkan mata
dan menghirup napas lega. Lalu membawanya kedalam halu dingin dan berisi
molekul-molekul rasa yang sulit dimengerti. Sulit dimengerti, seperti di dalam
puisinya. Selepas tersadar dari halu beberapa
detik, Rosmarika menutup buku agendanya yang delapan puluh persen berisi puisi
dan curahan hati, sepuluh persen berisi agenda-agenda
terencana dan batal dilaksanakan alias hanya wacana, sepuluh persen lagi
kosong, seperti hatinya.
Masih
di bawah rindang pohon jambu dekat lapangan sekolah, berserekan dibawahnya
kembang-kembang jambu yang pertanda sebentar lagi pohon itu akan banyak
berbuah. Pasti Alena, Si penyuka jambu air itu senang sekali. Tapi tidak dengan
Rosmarika, ia sama sekali tak suka jambu. Ia hanya penikmat suasana bangku
panjang dari kayu di bawah pohon jambu itu. Untuk mencari beberapa inspirasi
sambil sesekali melirik sosok yang betah sekali berada di lapangan sekolah.
Bukan, bukan Alena. Tapi yang lain.
“Dooorr!!!”
Alena berniat mengejutkan Rosmarika dari belakang. Namun Rosmarika tidak
terkejut, biasa saja. Kejutan yang gagal dan selalu gagal, tetapi selalu
diulanginya. Tapi Alena tidak kecewa, biasa saja. Sama.
“Sudah menulis
puisi, Ros?” Tanya Alena sambil menyodorkan jajanan ringan yang ia beli di
koperasi sekolah
“Sudah dong, puisi
adalah bagian dari diriku,” Rosmarika menggapai jajanan itu dan langsung
menyantapnya.
“Ah, sudah tahu.
Itukan kata-kata yang selalu kau ulangi, Ros,”
“Sudah tahu kenapa
nanya?” Rosmarika menjulurkan lidah memelet, meledek.
“Kapan tulisanmu
dipajang di Mapan?”
“Emm, aku sudah
menyerahkan cerpenku ke Pemred tiga hari lalu,”
sambil bersiap-siap meninggalkan bangku kayu di bawah pohon jambu itu,
“ke kelas yuk!” ajak Rosmarika dan menarik tangan Alena. Lalu kedua gadis
berjilbab segi empat berseragam putih biru itu bangkit dari duduknya dan melanjutkan obrolan sambil berjalan. Selama
jalan menuju ke kelas, mata Rosmarika terus mencari sosok yang betah sekali
berada di lapangan sekolah, namun sepertinya sosok itu sudah pergi.
Mapan adalah singkatan dari majalah papan.
Mapan sekelas dengan Mading atau majalah dinding di sekolah Rosmarika, namun
Mapan lebih dominan dengan karya-karya sastra. Baik puisi-puisi, cerpen,
pantun, prosa maupun resensi buku-buku sastra. Mapan berukuran papan tulis
sekolah pada umumnya. Papan yang sudah dihias sedemikian rupa dan sudah diisi
dengan karya-karya siswa digantungkan di dua tiang kayu yang menyerupai gawang.
Entah siapa dan generasi keberapa di sekolah itu yang menciptkan Mapan, yang
jelas Rosmarika ingin sekali karyanya terpajang di Mapan sekolah.
Setelah dua minggu semenjak
Rosmarika menyerahkan karyanya kepada Pemred dalam bentuk cerpen, Mapan terbit.
Namun tidak ada tulisan Rosmarika separagraf pun, sekalimat pun dan sebait pun.
Rosmarika memperhatikan dan memeriksa berulang-ulang Mapan dari ujung ke ujung.
Memang tidak ada tulisannya sedikitpun. Pun namanya, tidak ada sama sekali.
Barangkali tulisan Rosmarika tidak
masuk seleksi. Kan, banyak pastinya yang mengirimkan karya untuk dipajang dan
dinikmati di Mapan, bukan Rosmarika saja. Mungkin juga tulisannya terpental
atau terselip, namun entahlah. Entah apa penyebabnya cerpen Rosmarika tak masuk
ke dalam Mapan.
“Semoga saja
disimpan untuk Mapan bulan depan,” harap Rosmarika dalam hati. Sambil cemas
pastinya.
Betul saja, harapan itu semakin menggebu
sebulan kemudian. Pagi buta, Penjaga sekolah belum datang. Rosmarika sudah
duduk di depan dua tiang kayu yang menyerupai gawang tempat Mapan digantungkan
nanti. Padahal Mapan yang akan terbit itu belum siap sepagi ini. Rosmarika
terlalu euforia alias lebay.
Tapi begitulah cara Rosmarika
mengapresiasi karyanya sendiri. Berusaha mati-matian agar dinikmati oleh orang
lain, minimal dibaca Alena, teman kemana saja ada. Namun pagi ini, Alena tidak
tahu kegilaan Rosmarika menunggu dan meratapi tiang-tiang Mapan. Kalau tahu,
pasti Alena mengoceh.
Saat matahari mulai mengintip,
sinarnya sudah memasuki jagad sekolah. Lapangan sekolah, tanaman-tanaman di
pinggir lapangan sekolah, termasuk pohon jambu dan bangku panjang kayu di
bawahnya. Tiang-tiang bendera, tiang-tiang Mapan dan tubuh Rosmarika sudah
mulai disiram cahaya pagi. Semut-semut dari lubang keluar dan mulai bekerja.
Burung-burung gereja berempat bermain-main di kabel-kabel listrik sekolah.
Penjaga sekolah
datang, siswa satu persatu datang, guru-guru datang, Kepala Sekolah datang.
Sudah datang semua, Rosmarika baru menyadari di sekolah sudah ramai.
“Ros, kau datang jam
berapa?” suara melengking itu berhembus langsung ke telinga Rosmarika. Kali ini
Rosmarika agak terperanjat.
“Ah, kau Alena,”
“Kau kira siapa?
Rahman? Pemred Mading? Mau nanya kenapa tulisan karya Senandung Rosmarika belum
juga muncul di Mapan?”
“Rahman? Pemred
Mapan?” mata Rosmarika terbuka lebih lebar.
“Dih, kenapa dah?
Biasa aja kek!” wajah Alena sengaja diekspresikan jelek.
“Pemred itu bukannya
Kak Nadya, ya? Mantan ketua OSIS?”
“Setahuku Rahman
juga, sebagai wakil apa ya kalo gak salah,”
“Kalo gak salah?”
nada tanya Rosmarika agak meninggi.
“Kalo gak salah,
benar. Kalo gak benar, salah,” Alena meledek
“Au, ah,” Rosmarika
meninggalkan Alena dan tiang-tiang Mapan itu tanpa pamit.
“Selama belum bel,
kemana lagi orang itu kalau bukan untuk duduk di bawah pohon jambu,” Alena
mengoceh sendiri dan menebak kemana Rosmarika akan beranjak.
Aktivitas Rosmarika selain menulis
puisi, ia suka sekali mengaji di situ, di bawah pohon jambu. Mengaji beberapa
surah pendek yang ia hafal. Sesekali kepalanya kejatuhan jambu yang sudah mulai
banyak berbuah. Sesekali juga lelaki yang betah sekali berada di lapangan itu
memperhatikannya. Sesekali mereka saling melirik, saling menatap kemudian
saling menunduk. Jarak dari pohon jambu ke tempat lelaki yang betah sekali di
lapangan itu kurang lebih sepuluh meter. Jauh atau dekat? Lumayan jauh si, tapi
lumayan juga terasa dekat.
Rosmarika ingin sekali
menghampirinya. Ingin menanyakan apakah benar ia Wakil Pemred Mapan atau itu
karang-karangannya Alena saja. Ah, tapi kan sebait kata saja belum pernah terucap.
Menyapa saja belum pernah, cuma berani lihat-lihat dari jauh saja. Cuma kenal
saja, cuma seperti fans biasa saja. Tidak lama, bel berbunyi. Tanpa
pikir panjang lebar ia membatalkan niatnya untuk menghampiri Rahman. Ia
bergegas ke kelas. Rosmarika tidak menyadari ada yang tertinggal di bangku kayu
bawah pohon jambu. Buku agenda miliknya.
***
Delapan tahun kemudian, Rosmarika
dan Alena sudah memasuki semester lima di jenjang perkuliahannya. Dari Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai ke perguruan
tinggi dua sejoli itu tidak terpisah. Meski sering bertengkar.
Di rumah Rosmarika. “Paket,” Kurir
paket tersenyum di depan pintu saat Rosmarika membuka pintunya perlahan.
Seingat Rosmarika, ia tidak sedang memesan apapun lewat online shop.
“Senandung
Rosmarika?”
“Iya, saya,”
“Paketnya Mba, dari
Langit Press”
“Langit Press?”
“Iya, silahkan
diterima.”
Rosmarika semakin heran, ia
mengernyitkan dahi, menggaruk-garuk jilbab di kepala. “Langit Press?,” bertanya
dengan dirinya sendiri, ”penerbit yang lumayan terkenal itu?”. Ia mencoba
mengingat kapan terakhir memesan buku secara online. Seingatnya bahkan tidak
pernah. Sebab selama ini ia selalu ke toko buku jika hendak membeli bu
ku. Sambil menikmati buku-buku yang ada di sana. Berjam-jam di sana. Baca dua sampai tiga buku, yang dibeli hanya satu, bahkan tidak beli sama sekali, hanya baca saja. Dan ia senang sekali tiap menyium aroma buku baru yang terpajang di display. Sedangkan jika memilih buku online, ia tidak bisa mencium aroma itu. Kecuali buku sudah dibelinya. Pokoknya ia tidak suka belanja buku online. Jadi ada kiriman buku dari Langit Press ini aneh sangat menurutnya.
ku. Sambil menikmati buku-buku yang ada di sana. Berjam-jam di sana. Baca dua sampai tiga buku, yang dibeli hanya satu, bahkan tidak beli sama sekali, hanya baca saja. Dan ia senang sekali tiap menyium aroma buku baru yang terpajang di display. Sedangkan jika memilih buku online, ia tidak bisa mencium aroma itu. Kecuali buku sudah dibelinya. Pokoknya ia tidak suka belanja buku online. Jadi ada kiriman buku dari Langit Press ini aneh sangat menurutnya.
Dibaca lagi alamat penerima. Untuk
Senandung Rosmarika. Alamat penerima sesuai dengan alamat rumahnya. Dengan
ragu ia mulai membukanya perlahan. Sejenak ia hentikan tangannya yang tadi
sibuk mencari ujung-ujung perekat. Ia khawatir paket ini salah kirim. Tapi di
sisi lain ia senang karena mendapat kiriman gratis, barangkali ini surprise.
Kemudian ritual
membuka paket itupun dilanjutkan. Ia mengeluarkan isi paket itu, berisi
setumpuk buku. Lima buah buku. Di tumpukan paling atas, tertulus judul buku itu
“Antologi Cerpen Aku dan Puisi”. Ia ambil buku itu, ia buka sebentar, tutup
lagi. Dibolak-balik, dilihat cover depan, cover belakang sampai ke ujung-ujung
buku. Lalu dibuka lagi, ia lihat daftar isi yang tadi sempat tersingkap saat ia
membuka pertama kali. Napasnya sejenak terhenti. Lalu berhembus kencang sampai
terdengar dirinya sendiri. Ia lihat cerpen ke tiga di daftar isi, “Puisi Dan Lelaki
Yang Betah Sekali Berada Di Lapangan (Senandung Rosmarika)”.
Apa? Namanya ada di dalam buku itu? Puisi
Dan Lelaki Yang Betah Sekali Berada Di Lapangan? Itukan cerpen yang ia tulis
satu windu lalu waktu masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Itu kan cerpen
yang ia serahkan ke Pemred namun tidak kunjung terbit di Mapan. Itu kan cerpen
terakhirnya semenjak ia benar-benar putus asa dan kehilangan selera menulisnya
dalam waktu yang cukup lama karena tulisannya tidak terbit di Mapan. Rosmarika
menggeleng-geleng kepala tidak percaya.
Bibirnya melengkung ke arah langit. Senyumnya tak mau reda.
Awan gemawan berlapis tebal dan
tipis. Bergerak ke selatan. Anggun seperti dua angsa berenang di kolam yang
biru. Anak-anak angin bermain-main di seluruh ruang dirgantara. Mentari siang
ini bersahabat. Terang, tapi tidak panas dan menyengat. Teduh, tapi tidak pula
mendung. Awan-awan pun terlihat putih bersinar, langit biru sempurna. Siang itu
Rosmarika euforia. Langit ikut bahagia.
Di Kampus, Rosmarika sudah tak sabar
berbagi kebahagiaan yang saat ini melanda dengan temannya yang kemana saja ada,
Alena. Saat bertemu, Rosmarika langsung memeluknya. Menunjukan sebuah buku yang
terdapat karyanya. Lalu Rosmarika menceritakan semua keheranannya semenjak Mas
Kurir datang. Ia bercerita dengan semangat yang menggebu-gebu. Alena biasa
saja.
“Gak senang ya? Kok
biasa aja sih?” Rosmarika kecewa.
“Senang, tapi aku
sudah menduga sebelum paket itu datang kerumahmu, Ros,” jawab Alena santai
“Oh, ya? Kok bisa?”
“Ingat Rahman?”
“Kok Rahman? Apa
hubungannya, Len? Sebentar, Rahman yang mana ya?”
“Lupa toh?”
“Lupa,”
“Payah, rupanya
selain berhenti menulis puisi dan kau melupakan kata-katamu, ‘puisi adalah
bagian dari diriku’, kau juga melupakan lelaki yang betah sekali berada di
Lapangan? Rahman, kan?”
“Ah, kok kau tahu
Alena?”
“Kau tahu buku
agendamu hilang itu ditemukan Rahman dan ia enggan mengembalikannya padamu?
Karyamu tidak pernah terbit itu dicuri Rahman, ia ambil sebagai koleksi
pribadi. Padahal ia tahu kau ingin sekali karyamu terbit di Mapan. Kau tahu,
Ros?,” Alena membuat Rosmarika sedikit menganga, “setahun terakhir ini dia
merasa bersalah, ia kirimkan cerpenmu yang dulu ia curi ke event lomba
cerpen dari Langit Press,” sambung Alena.
“Semenjak kapan kau
bertemu dengannya, Alena?” Tanya Rosmarika penasaran
“Dua bulan lalu, ia
minta alamat dan biodatamu,” jawab alena tanpa ragu
“Lalu belum bertemu
lagi? Dia tinggal dimana sekarang?”
“Entah, hanya kali
itu saja. Ia bercerita banyak tentangmu yang menjadi inspirasi dia semenjak
Sekolah Menengah Pertama”
“Jadi, dia itu
pemuja rahasiaku ya?” Rosmarika menghela napas sambil keGe-Eran.
Dada Rosmarika penuh dengan rasa
bercampur aduk. Senang sebab karyanya terbit dalam buku. Benci sebab ia baru
tahu karyanya disembunyikan oleh Rahman. Dan justru kebencian itu membuatnya
mengenang kembali saat-saat ia menikmati rindangnya pohon jambu. Ia jatuh cinta
lagi kepada lelaki berbadan tinggi, berkulit bersih dan agak kurus yang senang
sekali berada di lapangan itu.
Tapi mungkin kalau karya itu tidak
disembunyikan Rahman, Rahman tidak mungkin mengirimkan cerpen Rosmarika untuk
lomba. Rosmarika bersyukur. Tapi juga, ia menyesal. Ia berhenti menulis hanya
karena karyanya tidak terbit di Mapan. Ia menyesal mengapa cepat sekali putus
asa, padahal menulis bukan hanya untuk dipajang di Mapan, Mading dan lain
sebagainya. Tapi menulis adalah untuk mengenal diri sendiri. Mulai saat itu,
Rosmarika ingin mengasah lagi bakatnya. Ia ingin menulis lagi, dibaca atau
tidak oleh orang lain, tidak peduli. Ia ingin tetap menulis.
Dan ia ingin mencari
Rahman, ingin mengucapkan terima kasih juga ingin bertanya mengapa ia betah
sekali berada dilapangan sewaktu istirahat dan sebelum masuk sekolah. Sama
seperti kebiasaanya suka sekali duduk di bangku kayu di bawah pohon jambu. Ya,
ia ingin mencari Rahman. Barangkali bisa ia temukan di sosial media. Cerpen terakhir Rosmarika
Tahukah kau?
Mengapa kembang-kembang jambu ini berjatuhan seperti hujan?
Berjatuhan saat kembang satu dan kembang lainnya saling bertatap
Namun kembang satu malu dan ragu, lalu ia memilih jatuh
Mereka saling menyusul berjatuhan
Tanpa tahu apa sebabnya jatuh jadi tak lagi sakit rasanya
Justru membuatnya bahagia dan ada
Perasaan-perasaan menggebu yang sama sekali sulit dimaknai
Kembang-kembang itu telah jatuh hati
Selesai
tertulis kata terakhir dalam puisi itu, hati. Rosmarika memejamkan mata
dan menghirup napas lega. Lalu membawanya kedalam halu dingin dan berisi
molekul-molekul rasa yang sulit dimengerti. Sulit dimengerti, seperti di dalam
puisinya. Selepas tersadar dari halu beberapa
detik, Rosmarika menutup buku agendanya yang delapan puluh persen berisi puisi
dan curahan hati, sepuluh persen berisi agenda-agenda
terencana dan batal dilaksanakan alias hanya wacana, sepuluh persen lagi
kosong, seperti hatinya.
Masih
di bawah rindang pohon jambu dekat lapangan sekolah, berserekan dibawahnya
kembang-kembang jambu yang pertanda sebentar lagi pohon itu akan banyak
berbuah. Pasti Alena, Si penyuka jambu air itu senang sekali. Tapi tidak dengan
Rosmarika, ia sama sekali tak suka jambu. Ia hanya penikmat suasana bangku
panjang dari kayu di bawah pohon jambu itu. Untuk mencari beberapa inspirasi
sambil sesekali melirik sosok yang betah sekali berada di lapangan sekolah.
Bukan, bukan Alena. Tapi yang lain.
“Dooorr!!!”
Alena berniat mengejutkan Rosmarika dari belakang. Namun Rosmarika tidak
terkejut, biasa saja. Kejutan yang gagal dan selalu gagal, tetapi selalu
diulanginya. Tapi Alena tidak kecewa, biasa saja. Sama.
“Sudah menulis
puisi, Ros?” Tanya Alena sambil menyodorkan jajanan ringan yang ia beli di
koperasi sekolah
“Sudah dong, puisi
adalah bagian dari diriku,” Rosmarika menggapai jajanan itu dan langsung
menyantapnya.
“Ah, sudah tahu.
Itukan kata-kata yang selalu kau ulangi, Ros,”
“Sudah tahu kenapa
nanya?” Rosmarika menjulurkan lidah memelet, meledek.
“Kapan tulisanmu
dipajang di Mapan?”
“Emm, aku sudah
menyerahkan cerpenku ke Pemred tiga hari lalu,”
sambil bersiap-siap meninggalkan bangku kayu di bawah pohon jambu itu,
“ke kelas yuk!” ajak Rosmarika dan menarik tangan Alena. Lalu kedua gadis
berjilbab segi empat berseragam putih biru itu bangkit dari duduknya dan melanjutkan obrolan sambil berjalan. Selama
jalan menuju ke kelas, mata Rosmarika terus mencari sosok yang betah sekali
berada di lapangan sekolah, namun sepertinya sosok itu sudah pergi.
Mapan adalah singkatan dari majalah papan.
Mapan sekelas dengan Mading atau majalah dinding di sekolah Rosmarika, namun
Mapan lebih dominan dengan karya-karya sastra. Baik puisi-puisi, cerpen,
pantun, prosa maupun resensi buku-buku sastra. Mapan berukuran papan tulis
sekolah pada umumnya. Papan yang sudah dihias sedemikian rupa dan sudah diisi
dengan karya-karya siswa digantungkan di dua tiang kayu yang menyerupai gawang.
Entah siapa dan generasi keberapa di sekolah itu yang menciptkan Mapan, yang
jelas Rosmarika ingin sekali karyanya terpajang di Mapan sekolah.
Setelah dua minggu semenjak
Rosmarika menyerahkan karyanya kepada Pemred dalam bentuk cerpen, Mapan terbit.
Namun tidak ada tulisan Rosmarika separagraf pun, sekalimat pun dan sebait pun.
Rosmarika memperhatikan dan memeriksa berulang-ulang Mapan dari ujung ke ujung.
Memang tidak ada tulisannya sedikitpun. Pun namanya, tidak ada sama sekali.
Barangkali tulisan Rosmarika tidak
masuk seleksi. Kan, banyak pastinya yang mengirimkan karya untuk dipajang dan
dinikmati di Mapan, bukan Rosmarika saja. Mungkin juga tulisannya terpental
atau terselip, namun entahlah. Entah apa penyebabnya cerpen Rosmarika tak masuk
ke dalam Mapan.
“Semoga saja
disimpan untuk Mapan bulan depan,” harap Rosmarika dalam hati. Sambil cemas
pastinya.
Betul saja, harapan itu semakin menggebu
sebulan kemudian. Pagi buta, Penjaga sekolah belum datang. Rosmarika sudah
duduk di depan dua tiang kayu yang menyerupai gawang tempat Mapan digantungkan
nanti. Padahal Mapan yang akan terbit itu belum siap sepagi ini. Rosmarika
terlalu euforia alias lebay.
Tapi begitulah cara Rosmarika
mengapresiasi karyanya sendiri. Berusaha mati-matian agar dinikmati oleh orang
lain, minimal dibaca Alena, teman kemana saja ada. Namun pagi ini, Alena tidak
tahu kegilaan Rosmarika menunggu dan meratapi tiang-tiang Mapan. Kalau tahu,
pasti Alena mengoceh.
Saat matahari mulai mengintip,
sinarnya sudah memasuki jagad sekolah. Lapangan sekolah, tanaman-tanaman di
pinggir lapangan sekolah, termasuk pohon jambu dan bangku panjang kayu di
bawahnya. Tiang-tiang bendera, tiang-tiang Mapan dan tubuh Rosmarika sudah
mulai disiram cahaya pagi. Semut-semut dari lubang keluar dan mulai bekerja.
Burung-burung gereja berempat bermain-main di kabel-kabel listrik sekolah.
Penjaga sekolah
datang, siswa satu persatu datang, guru-guru datang, Kepala Sekolah datang.
Sudah datang semua, Rosmarika baru menyadari di sekolah sudah ramai.
“Ros, kau datang jam
berapa?” suara melengking itu berhembus langsung ke telinga Rosmarika. Kali ini
Rosmarika agak terperanjat.
“Ah, kau Alena,”
“Kau kira siapa?
Rahman? Pemred Mading? Mau nanya kenapa tulisan karya Senandung Rosmarika belum
juga muncul di Mapan?”
“Rahman? Pemred
Mapan?” mata Rosmarika terbuka lebih lebar.
“Dih, kenapa dah?
Biasa aja kek!” wajah Alena sengaja diekspresikan jelek.
“Pemred itu bukannya
Kak Nadya, ya? Mantan ketua OSIS?”
“Setahuku Rahman
juga, sebagai wakil apa ya kalo gak salah,”
“Kalo gak salah?”
nada tanya Rosmarika agak meninggi.
“Kalo gak salah,
benar. Kalo gak benar, salah,” Alena meledek
“Au, ah,” Rosmarika
meninggalkan Alena dan tiang-tiang Mapan itu tanpa pamit.
“Selama belum bel,
kemana lagi orang itu kalau bukan untuk duduk di bawah pohon jambu,” Alena
mengoceh sendiri dan menebak kemana Rosmarika akan beranjak.
Aktivitas Rosmarika selain menulis
puisi, ia suka sekali mengaji di situ, di bawah pohon jambu. Mengaji beberapa
surah pendek yang ia hafal. Sesekali kepalanya kejatuhan jambu yang sudah mulai
banyak berbuah. Sesekali juga lelaki yang betah sekali berada di lapangan itu
memperhatikannya. Sesekali mereka saling melirik, saling menatap kemudian
saling menunduk. Jarak dari pohon jambu ke tempat lelaki yang betah sekali di
lapangan itu kurang lebih sepuluh meter. Jauh atau dekat? Lumayan jauh si, tapi
lumayan juga terasa dekat.
Rosmarika ingin sekali
menghampirinya. Ingin menanyakan apakah benar ia Wakil Pemred Mapan atau itu
karang-karangannya Alena saja. Ah, tapi kan sebait kata saja belum pernah terucap.
Menyapa saja belum pernah, cuma berani lihat-lihat dari jauh saja. Cuma kenal
saja, cuma seperti fans biasa saja. Tidak lama, bel berbunyi. Tanpa
pikir panjang lebar ia membatalkan niatnya untuk menghampiri Rahman. Ia
bergegas ke kelas. Rosmarika tidak menyadari ada yang tertinggal di bangku kayu
bawah pohon jambu. Buku agenda miliknya.
***
Delapan tahun kemudian, Rosmarika
dan Alena sudah memasuki semester lima di jenjang perkuliahannya. Dari Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai ke perguruan
tinggi dua sejoli itu tidak terpisah. Meski sering bertengkar.
Di rumah Rosmarika. “Paket,” Kurir
paket tersenyum di depan pintu saat Rosmarika membuka pintunya perlahan.
Seingat Rosmarika, ia tidak sedang memesan apapun lewat online shop.
“Senandung
Rosmarika?”
“Iya, saya,”
“Paketnya Mba, dari
Langit Press”
“Langit Press?”
“Iya, silahkan
diterima.”
Rosmarika semakin heran, ia
mengernyitkan dahi, menggaruk-garuk jilbab di kepala. “Langit Press?,” bertanya
dengan dirinya sendiri, ”penerbit yang lumayan terkenal itu?”. Ia mencoba
mengingat kapan terakhir memesan buku secara online. Seingatnya bahkan tidak
pernah. Sebab selama ini ia selalu ke toko buku jika hendak membeli bu
ku. Sambil menikmati buku-buku yang ada di sana. Berjam-jam di sana. Baca dua sampai tiga buku, yang dibeli hanya satu, bahkan tidak beli sama sekali, hanya baca saja. Dan ia senang sekali tiap menyium aroma buku baru yang terpajang di display. Sedangkan jika memilih buku online, ia tidak bisa mencium aroma itu. Kecuali buku sudah dibelinya. Pokoknya ia tidak suka belanja buku online. Jadi ada kiriman buku dari Langit Press ini aneh sangat menurutnya.
ku. Sambil menikmati buku-buku yang ada di sana. Berjam-jam di sana. Baca dua sampai tiga buku, yang dibeli hanya satu, bahkan tidak beli sama sekali, hanya baca saja. Dan ia senang sekali tiap menyium aroma buku baru yang terpajang di display. Sedangkan jika memilih buku online, ia tidak bisa mencium aroma itu. Kecuali buku sudah dibelinya. Pokoknya ia tidak suka belanja buku online. Jadi ada kiriman buku dari Langit Press ini aneh sangat menurutnya.
Dibaca lagi alamat penerima. Untuk
Senandung Rosmarika. Alamat penerima sesuai dengan alamat rumahnya. Dengan
ragu ia mulai membukanya perlahan. Sejenak ia hentikan tangannya yang tadi
sibuk mencari ujung-ujung perekat. Ia khawatir paket ini salah kirim. Tapi di
sisi lain ia senang karena mendapat kiriman gratis, barangkali ini surprise.
Kemudian ritual
membuka paket itupun dilanjutkan. Ia mengeluarkan isi paket itu, berisi
setumpuk buku. Lima buah buku. Di tumpukan paling atas, tertulus judul buku itu
“Antologi Cerpen Aku dan Puisi”. Ia ambil buku itu, ia buka sebentar, tutup
lagi. Dibolak-balik, dilihat cover depan, cover belakang sampai ke ujung-ujung
buku. Lalu dibuka lagi, ia lihat daftar isi yang tadi sempat tersingkap saat ia
membuka pertama kali. Napasnya sejenak terhenti. Lalu berhembus kencang sampai
terdengar dirinya sendiri. Ia lihat cerpen ke tiga di daftar isi, “Puisi Dan Lelaki
Yang Betah Sekali Berada Di Lapangan (Senandung Rosmarika)”.
Apa? Namanya ada di dalam buku itu? Puisi
Dan Lelaki Yang Betah Sekali Berada Di Lapangan? Itukan cerpen yang ia tulis
satu windu lalu waktu masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Itu kan cerpen
yang ia serahkan ke Pemred namun tidak kunjung terbit di Mapan. Itu kan cerpen
terakhirnya semenjak ia benar-benar putus asa dan kehilangan selera menulisnya
dalam waktu yang cukup lama karena tulisannya tidak terbit di Mapan. Rosmarika
menggeleng-geleng kepala tidak percaya.
Bibirnya melengkung ke arah langit. Senyumnya tak mau reda.
Awan gemawan berlapis tebal dan
tipis. Bergerak ke selatan. Anggun seperti dua angsa berenang di kolam yang
biru. Anak-anak angin bermain-main di seluruh ruang dirgantara. Mentari siang
ini bersahabat. Terang, tapi tidak panas dan menyengat. Teduh, tapi tidak pula
mendung. Awan-awan pun terlihat putih bersinar, langit biru sempurna. Siang itu
Rosmarika euforia. Langit ikut bahagia.
Di Kampus, Rosmarika sudah tak sabar
berbagi kebahagiaan yang saat ini melanda dengan temannya yang kemana saja ada,
Alena. Saat bertemu, Rosmarika langsung memeluknya. Menunjukan sebuah buku yang
terdapat karyanya. Lalu Rosmarika menceritakan semua keheranannya semenjak Mas
Kurir datang. Ia bercerita dengan semangat yang menggebu-gebu. Alena biasa
saja.
“Gak senang ya? Kok
biasa aja sih?” Rosmarika kecewa.
“Senang, tapi aku
sudah menduga sebelum paket itu datang kerumahmu, Ros,” jawab Alena santai
“Oh, ya? Kok bisa?”
“Ingat Rahman?”
“Kok Rahman? Apa
hubungannya, Len? Sebentar, Rahman yang mana ya?”
“Lupa toh?”
“Lupa,”
“Payah, rupanya
selain berhenti menulis puisi dan kau melupakan kata-katamu, ‘puisi adalah
bagian dari diriku’, kau juga melupakan lelaki yang betah sekali berada di
Lapangan? Rahman, kan?”
“Ah, kok kau tahu
Alena?”
“Kau tahu buku
agendamu hilang itu ditemukan Rahman dan ia enggan mengembalikannya padamu?
Karyamu tidak pernah terbit itu dicuri Rahman, ia ambil sebagai koleksi
pribadi. Padahal ia tahu kau ingin sekali karyamu terbit di Mapan. Kau tahu,
Ros?,” Alena membuat Rosmarika sedikit menganga, “setahun terakhir ini dia
merasa bersalah, ia kirimkan cerpenmu yang dulu ia curi ke event lomba
cerpen dari Langit Press,” sambung Alena.
“Semenjak kapan kau
bertemu dengannya, Alena?” Tanya Rosmarika penasaran
“Dua bulan lalu, ia
minta alamat dan biodatamu,” jawab alena tanpa ragu
“Lalu belum bertemu
lagi? Dia tinggal dimana sekarang?”
“Entah, hanya kali
itu saja. Ia bercerita banyak tentangmu yang menjadi inspirasi dia semenjak
Sekolah Menengah Pertama”
“Jadi, dia itu
pemuja rahasiaku ya?” Rosmarika menghela napas sambil keGe-Eran.
Dada Rosmarika penuh dengan rasa
bercampur aduk. Senang sebab karyanya terbit dalam buku. Benci sebab ia baru
tahu karyanya disembunyikan oleh Rahman. Dan justru kebencian itu membuatnya
mengenang kembali saat-saat ia menikmati rindangnya pohon jambu. Ia jatuh cinta
lagi kepada lelaki berbadan tinggi, berkulit bersih dan agak kurus yang senang
sekali berada di lapangan itu.
Tapi mungkin kalau karya itu tidak
disembunyikan Rahman, Rahman tidak mungkin mengirimkan cerpen Rosmarika untuk
lomba. Rosmarika bersyukur. Tapi juga, ia menyesal. Ia berhenti menulis hanya
karena karyanya tidak terbit di Mapan. Ia menyesal mengapa cepat sekali putus
asa, padahal menulis bukan hanya untuk dipajang di Mapan, Mading dan lain
sebagainya. Tapi menulis adalah untuk mengenal diri sendiri. Mulai saat itu,
Rosmarika ingin mengasah lagi bakatnya. Ia ingin menulis lagi, dibaca atau
tidak oleh orang lain, tidak peduli. Ia ingin tetap menulis.
Dan ia ingin mencari
Rahman, ingin mengucapkan terima kasih juga ingin bertanya mengapa ia betah
sekali berada dilapangan sewaktu istirahat dan sebelum masuk sekolah. Sama
seperti kebiasaanya suka sekali duduk di bangku kayu di bawah pohon jambu. Ya,
ia ingin mencari Rahman. Barangkali bisa ia temukan di sosial media.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny